Jenis-jenis Haji
Berdasarkan
riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi shallallah ‘alahi wa sallam, ada tiga
jenis haji yang bisa diamalkan. Masing-masingnya mempunyai nama dan sifat
(tatacara) yang berbeda. Tiga
jenis haji tersebut adalah sebagai berikut:
1. Haji Tamattu’
Haji
Tamattu’ adalah berihram untuk menunaikan umrah di bulan-bulan haji
(Syawwal, Dzul Qa’dah, 10 hari pertama dari Dzul Hijjah), dan diselesaikan
umrahnya (bertahallul) pada waktu-waktu tersebut1. Kemudian pada hari Tarwiyah
(tanggal 8 Dzul Hijjah) berihram kembali dari Makkah untuk menunaikan hajinya
hingga sempurna. Bagi yang berhaji Tamattu’, wajib baginya menyembelih hewan
kurban (seekor kambing/sepertujuh dari sapi/sepertujuh dari unta) pada tanggal
10 Dzul Hijjah atau di hari-hari tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzul Hijjah). Bila
tidak mampu menyembelih, maka wajib berpuasa 10 hari; 3 hari di waktu haji
(boleh dilakukan di hari tasyriq2. Namun yang lebih utama dilakukan sebelum
tanggal 9 Dzul Hijjah/hari Arafah) dan 7 hari setelah pulang ke kampung
halamannya.
2. Haji Qiran
Haji
Qiran adalah berihram untuk menunaikan umrah dan haji sekaligus,
dan menetapkan diri dalam keadaan berihram (tidak bertahallul) hingga hari nahr
(tanggal 10 Dzul Hijjah). Atau berihram untuk umrah, dan sebelum memulai thawaf
umrahnya dia masukkan niat haji padanya (untuk dikerjakan sekaligus bersama
umrahnya). Kemudian melakukan thawaf qudum (thawaf di awal kedatangan di
Makkah), lalu shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim. Setelah itu bersa’i
di antara Shafa dan Marwah untuk umrah dan hajinya sekaligus dengan satu sa’i
(tanpa bertahallul), kemudian masih dalam kondisi berihram hingga datang masa
tahallulnya di hari nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah). Boleh pula baginya untuk
mengakhirkan sa’i dari thawaf qudumnya yang nantinya akan dikerjakan setelah
thawaf haji (ifadhah). Terlebih bila kedatangannya di Makkah agak terlambat dan
khawatir tidak bisa tuntas mengerjakan hajinya bila disibukkan dengan sa’i.
Untuk haji Qiran ini, wajib menyembelih hewan kurban (seekor kambing,
sepertujuh dari sapi, atau sepertujuh dari unta) pada tanggal 10 Dzul Hijjah
atau di hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzul Hijjah). Bila tidak mampu
menyembelih, maka wajib berpuasa 10 hari; 3 hari di waktu haji (boleh dilakukan
di hari tasyriq, namun yang lebih utama dilakukan sebelum tanggal 9 Dzul
Hijjah/hari Arafah) dan 7 hari setelah pulang ke kampung halamannya.
3. Haji Ifrad
Haji
Ifrad adalah melakukan ihram untuk berhaji saja (tanpa umrah) di
bulan-bulan haji. Setiba di Makkah, melakukan thawaf qudum (thawaf di awal
kedatangan di Makkah), kemudian shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim.
Setelah itu bersa’i di antara Shafa dan Marwah untuk hajinya tersebut (tanpa
bertahallul), kemudian menetapkan diri dalam kondisi berihram hingga datang
masa tahallulnya di hari nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah). Boleh pula baginya
untuk mengakhirkan sa’i dari thawaf qudumnya, dan dikerjakan setelah thawaf
hajinya (ifadhah). Terlebih ketika kedatangannya di Makkah agak terlambat dan
khawatir tidak bisa tuntas mengerjakan hajinya bila disibukkan dengan kegiatan
sa’i, sebagaimana haji Qiran. Untuk haji Ifrad ini, tidak ada kewajiban
menyembelih hewan kurban. (Disarikan dari Dalilul Haajji
wal Mu’tamir, terbitan Departemen Agama Saudi Arabia hal. 15,16, & 19, dan
www.attasmeem.com, Manasik Al-Hajj wal ‘Umrah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin)
Jenis Haji Apakah yang Paling Utama (Afdhal)?
Al-Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Berdasarkan penelitian, maka keutamaan tersebut tergantung pada kondisi
orang yang akan melakukannya. Jika dia safar untuk umrah secara tersendiri
(lalu pulang), kemudian safar kembali untuk berhaji, atau dia bersafar ke
Makkah sebelum bulan-bulan haji untuk berumrah lalu tinggal di sana, maka para
ulama sepakat bahwa yang afdhal baginya adalah haji Ifrad. Adapun jika dia
bersafar ke Makkah pada bulan-bulan haji untuk melakukan umrah dan haji (sekali
safar) dengan membawa hewan kurban, maka yang afdhal baginya adalah haji
Qiran. Dan bila tidak membawa hewan kurban maka yang afdhal baginya adalah haji
Tamattu’.” (Lihat Taudhihul Ahkam juz 4, hal. 60)
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa haji Tamattu’ lebih utama dari
semua jenis haji secara mutlak. Bahkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah
berpendapat bahwa hukum haji Tamattu’ adalah wajib, sebagaimana dalam kitab
beliau Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 11-17, cet. ke-4).
Namun demikian, beliau rahimahullah mengatakan: “Mungkin ada yang berkata,
‘Sesungguhnya apa yang engkau sebutkan tentang wajibnya haji Tamattu’ dan
bantahan terhadap yang mengingkarinya, sangatlah jelas dan bisa diterima. Namun
masih ada ganjalan manakala ada yang mengatakan bahwa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun
justru melakukan haji Ifrad. Bagaimanakah solusinya?’ Jawabannya: ‘Dalam
bahasan yang lalu telah kami jelaskan bahwasanya haji Tamattu’ itu hukumnya
wajib, bagi seseorang yang tidak membawa hewan kurban. Adapun bagi seseorang
yang membawa hewan kurban, maka tidak wajib baginya berhaji Tamattu’. Bahkan
(dalam kondisi seperti itu) tidak boleh baginya untuk berhaji Tamattu’. Yang
afdhal baginya adalah haji Qiran atau haji Ifrad. Sehingga apa yang telah
disebutkan bahwa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun berhaji Ifrad, dimungkinkan karena
mereka membawa hewan kurban. Dengan demikian masalahnya bisa dikompromikan,
walhamdulillah.” (Hajjatun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hal. 18-19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar